FIQH IKHTILAF PERSPEKTIF HASAN
AL-BANNA
Oleh : Mohammad Bashri Asyari
Abstrak
Perbedaan pendapat
dalam furu’ yang pada masa generasi awal
dipandang sebagai keluasan ajaran Islam ,dalam perjalanan sejarahnya berubah menjadi faktor kefanatikan terhadap
pendapat madzhab tertentu, dan menjadi pemicu keretakan ukhuwah. Hasan al-Banna mencoba
melakukan upaya menyadarkan umat Islam dengan meletakkan kaidah-kaidah dalam
menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah dengan cara mengedepankan keikhlasan,kejujuran
, kelapangan dada,saling memahami kapasitas dan posisi masing-masing , dibawah
naungan semangat memperkokoh Ukhuwah Islamiyah yang menjadi salah satu fondasi
dan pemerkokoh soliditas stuktur
bangunan sosialnya.
Mukaddimah
Ikhtilaf(Perbedaan pendapat) dalam
memahami teks-teks al-Qur’an atau pun Hadits merupakan satu hal yang wajar,
alamiyah dan tidak pernah dipermasalahkan pada masa Nabi saw. Hidup, generasi
sahabat,dan pada masa genrasi tabi’in
hingga masa munculnya para imam mujtahidin.Para fuqaha’ mujtahidin menyadari
bahwa pebedaan pendapat antar mereka bukanlah disengaja,tetapi benar-benar
karena objektifitas dalam kberijtihad
mencari pendapat yang benar semampu mereka.Mereka tidak pernah menklaim bahwa
pendapat mereka bukan wahyu yang diwahyukan Allah kepada mereka sehingga wajib
diikuti,tetapi masing-masing dari mereka mengatakan:”Ini pendapatku,ia benar
tapi adabkemungkinan salah.Jika aku (ijtihadku)benar,maka datangnya dari Allah,
dan jika salah,maka ia dating dari aku dan dari syaitan.[1]
Tradisi menghargai perbedaan pendapat baru
berubah pada generasi pengikut para mujtahidin yang sebagiannya fanatik buta
terhadap pendapat imam mereka.Mereka aktif melilibatkan diri dalam debat
terbuka dengan pengikut madzhab yang
lain dengan mempergunakan bahasa yang
cukup pedas serta mengabaikan adab dalam mengungkapkan perbedaan
pendapat,bahkan sampai sampai tidak boleh mengawinkan anaknya karena keimanan
lawan madzhabnya diragukan[2].Sebaliknya
lawannya balik melawan dengan memfatwakan bahwa kalau makanan kena setetes
minuman keras ,maka hendaknya dilempar ke kambing atau kepada pengikut Madzhab
Hanafi[3]
Situasi perpecahan umat
akibat intoleransi perbedaan pendapat
semakin parah ketika hal tersebut dibawa ke mimbar masjid . Masjid yang dulunya menjadi sarana pemersatu umat
Islam berubah menjadi sarana empuk untuk mempertajam perbedaan madzhab,
sehingga para pengunjung pun terbatas pada mereka yang mengikuti madzahab sang
imam/khatib.
Hasan al-Banna yang juga hidup serta
menyaksikan kondisi ummat Islam di Mesir seperti di atas,ditambah lagi dengan
upaya Inggris sebagai penjajah yang
selalu mengambil peluang perpecahan umat Islam di Mesir untuk melemahkan
negerinya secara politik , mencoba memberi solusi pemikiran dengan mengajukan
dua puluh kaidah pemahaman tentang Islam, yang dengannya diharapkan bisa
memberi solusi dalam mengatasi perpecahan di kalangan umat Islam yang
diakibatkan oleh perselisihan paham, baik yang terkait dengan permasalahan
aqidah atau mu’amalah, dan diharapkan mampu membawa Mesir bersatu untuk memerdekakan
diri dari penjajahan Inggris dari berbagai aspeknya.
Makalah ini mencoba memaparkan
dan menganalisis pandangan Hasan al-Banna yang terkait dengan bagaimana
menyikapi perbedaan pendapat dalam persoalan yang menyangkut masalah furu’iyah saja
yang dimuat dalam dua puluh kaidah pemahaman tentang Islam yang dikenal dengan
“al-Ushul al-Isyrin”.
Biografi
Hasan Al-Banna
Hasan al-Banna tercatat sebagai
salah satu reformsis Muslim kharismatik yang
mampu menjadikan sebuah wacana menjadi sebuah gerakan yang dinamis sehingga
organisasi yang dipimpinnya benar-benar solid dan mampu melahirkan kader-kader
penerus yang penuh didikasi dan mengakar
di tengah-tengah masyarakatnya.Dakmigian- Dosen Ilmu Politik di Universitas New
York- menegaskan bahwa Hasan al-Banna
adalaah seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan charisma, dan berdirinya
Ikhwan Muslimun merupakan representasi dari pertemuan berbagai arus sosial yang
kuat dalam kepribadian Hasan al-Banna yang kahismatis itu. Lebih lanjut ia
mengatakan, “ al-Banna merupakan prototipe kepribadian kharismatis yang biasa
muncul pada masa-masa krisis, untuk memainkan peran sebagai penyelamat sosial
spiritual, sebagaimana definisi kharisma yang dikatakan oleh Weber”.[4]
Ia dilahikan di Mahmudiyah sebuah desa di Mesir pada tahun l906
M.di kalangan keluarga yang taat beragama dan bewawasan keilmuan yang luas. Ayahnya,
Ahmad Abdurrahman khatib masjid di Mahmudiyah,
hafidz al-Qur’an dan ahli Fiqh dan Hadits serta banyak memiliki karya di bidang
hadits .[5]
Beliaulah yang memotivasi anakanya untuk menghafal al-Qur’an, banyak membaca
dengan cara menghadiahkan buku-buku bacaan, menghafal matan ( teks ringkas )
kitab, dan keterampilan mereparasi jam.[6]
Sekolah formalnya dimulai di sekolah
yang berada di desanya, Madrasah al-Rasyad al- Diniyah. Salah satu gurunya yang
selalu membimbingnya di luar sekolah adalah Syeikh Muhammad al-Zahran.Beliau
seringkali megajak Hasan al-Banna ke perpustakaan pribadinya sehingga ia
tertarik untuk menelaah dan banyak membaca.[7]
Hasan al-Banna kemudian melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Mu’allimin di Damanhur. Dalam usianya yang kedua
belas tahun,ia dan teman-temannya mendirikan “ Jam’iyah Man’I al-Muharramat” ( Organisasi
Anti Kemungkaran ).Aksinya sederhana
yaitu dengan cara mengirim surat kaleng kepada orang yang diketahui mengerjakan
kemungkran.Yang menarik lagi dalam usianya yang ketiga belas tahun setengah ia berbagung
menjadi anggota Tarekat al-Hashafiyah dan menjadi sekretaris Organisasi Sosial
al-Hashafiyah.Selama mengikuti tarekat ini beliau aktif membaca wazhifah
al-Razuqiyah dan terwarnai oleh kegiatan-kegiatannya dalam tarbiyah ruhiyahanya
dalam hal dzikir, wirid, kajian kitab Ihya’ Ulumuddin, shalat jama’ah, puasa
Senin dan Kamis,kunjungan persaudaraan dan ziarah kubur untuk mengingat
kematian. Al-Banana mengikuti tarekat ini sampai umur 21 tahun, saat ia
mendirikan Organisasi al-Ikhwan
al-Muslimun.Ketika Revolusi Rakyat meletus tahun 1919, dia terlibat di
dalamnya dengan bersyi’ir, demonstrasi,melakukan aksi dan mendengarkan orasi
tentang problematika Negara dan perkembangannya. [8]
Pendidikan Mu’allimin
diselesaikannya dalam usianya yang ke 16 tahun dengan menyandang peringkat
pertama di madrasahnya dan peringkat kelima untuk tingkat Nasional Mesir,
sehingga ia bisa diterima untuk melanjutkan studi di Univrersitas Dar al-Ulum.
Semassa kuliah di Darul Ulum, terjadi
friksi antara kubu Partai Wafd dn Ahrar Dusturi ( Parai Konstituante Liberal).Kondisi
ini memberi peluang kepada dosen dan mahasiswa untuk selalu terlibat dalam
diskusi politik, sehingga Hasan al-Banna
bisa menambah wawasannya dalam hal politik. Setelah menyelesaikan tugas kuliah
pada tahun l929M., ia mendapatkan tugas dari Universitas untuk mengajar di salah satu Madrasah di
Ismailiyah.
Pada awal kehadirannya di Ismailiyah
Hasan al-Banna memulai apa yang selama ini dicita citakannya yaitu memberikan
bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat. Tetapi satu hal yang perlu dicatat
di sini bahwa ia memluainya bukan di Masjid, tetapi di kedai-kedai kopi. Hal
ini dilakukannya karena di Masjid sudah terpengaruh dengan pertentangan kelompok politik dan pemikian, sementara ia menginginkan
untuk bisa berkomunikasi dengan berbagai kalangan dan menyatukan mereka.Di
antara para pendengar setia dari ceramaha-ceramah yang ia sampaikan terdapat enam orang yang
tertarik dengan gagasan-gagasan besarnya dan menemuhinya di rumahnya pada Bulan
April l928 .Mereka membicarakan tentang metode
praktis untuk mengangkat kejayaan Islam dan kebaikan kaum Muslimin,
serta menawarkan sejumlah harta sebagai dana operasional dakwah, dan terjadilah
bai’at bersama.Ketika berdiskusi tentang nama organisasi yang akan
dibentuk, Hasn al-Banna berkata kepada mereka:” Kita ini saudara dalam
pengabdian kepada masyarakat, jadi kita ini “ al-Ikhwan al-Muslimun “.[9]
Sejak itulah nama al-Ikhwan al-Muslimun menjadi nama resmi dari organisasi yang
dipimpinnya.
Untuk meyebarkan pemikirannya,
beliau menerbitkan Koran dengan nama:” Jaridatu al-Ikhwan al-Muslimin “ dan
Koran ini berumur 13 tahun, karena pada tahun 1946 dibredel . Beliau
menerbitkan majalah lain bernama “ al-Nadzir
“. Hasan al-Banna juga diamanati oleh keluarga Rasyid al-Ridha untuk
menjadi redaktur Majallah “ al-Manar “ setelah Syeikh Bahjat al-Baththar
yang menggantikan Rasyid Ridha dan sempat meneruskan tafsir
al-Manar sampai Surat Yusuf . Hasan al-Banna meneruskan tafsir al-Manar dari
Surat al-Ra’du. Syeikh Mushthafa al-Maraghi yang kala itu menjabat Syaikhu
al-Azhar menilai Hasan al-Banna- sebagai Pemred al-Manar yang baru- memiliki kualitas dan integritas yang sama
dengan pendahulunya Rasyid al-Ridha dalam melakukan reformasi keagamaan dan
sosial . Namun sayang majalah al-Manar kemudian dibredel dengan penguasa Mesir
setelah sempat terbit juz kesepuluh dan melengkapi jilid ketigapuluh lima.[10]
Buku-Buku
Karya Hasan al-Banna
Al-Banna tidak banyak menulis buku,ia lebih banyak
meluangkan waktunya untuk mencetak kader-kader yang mampu menyebarkan visi
peradaban Islam yang digagasnya,sebagaimana pernyataannya ketika diminta untuk
menulis buku:
“Saya
tidak akan menulis buku-buku yang yang nasibnya hanya sebagai penghias rak-rak
buku dan perpustakaan,tetapi tugasku mencetak para rijal(kader-kader)yang akan
kulempar ke setiap negeri lalu menghidupkannya,setiap mereka berposisi sebagai
kitab hidup yang pindah menjumpai manusia,mengarungi akal dan hati-hati
mereka,menyebarkan seluruh apa yang ada di benak,jiwa dan akalnya kepada
mereka, dan setiap orang di antara mereka akan mencetak para kader(baru)
sebagaimana ia sebelumnya telah dicetak menjadi kader”.
Beberapa karya tulisnya yang sudah dibukukan,diantaranya:
- Mudzakkiratu al-Da’wah wa
al-Da’iyah.Buku
ini memuat catatan perjalanan dakwah Hasan al-Banna
- Majmu’atu al-Rasa’il.Buku ini memuat visi dan
missi dakwah al-Banna dalam membangun peradaban Islam
- Nadzarat fi Kitabillah.Buku ini kumpulan dari
tulisannya di berbagai media massa,temasuk Tafsir Surat al-Ra’du sebagai pelengkap dari Tafsir al-Manar
yang ditulis oleh Rasyid Ridha dan tafsir dari Surat-Surat al-Qur’an yang
lain.
- Nadzarat fi
al-Sirah,Muqaddimah fi al-Tafsir,Ahadits al-Tsulatsa’ dan lain-lainnya.[11]
Hasan
al-Banna dan Fiqh Ikhtilaf
Pengalaman Hassan al-Baanna dalam
berdakwah. Situasi politik di Mesir dan perpecahan yang melanda masyarakat Mesir
dalam berbagai bidang kehidupan
khususnya setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah dan masuknya kaum
imprealis barat di bumi Mesir, semakin mematangkan pemikirannya untuk memberikan
solusi untuk mengangkat ummatnya dari keterpurukan dan mengembalikan
kejayannya.Ia berijtihad untuk menemukan dasar-dasar pemahaman tenang Islam
yang bisa dijadikan landasan pijak bersama unuk menyatukan ummat Islam dan para
da’inya sertra mampu mengatasi perpecahan yang diakibatkan oleh ikhtilaf
pemikiran .
Risalah al-Ta’lim merupakan
ijtihadnya yang mutakhir untuk memberikan solusi tersebut.Risalah ini terdiri
dari sepuluh rukun bai’at: pemahaman, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan,ta’at,
keteguhan, tajarrud ( loyalitas penuh), percaya, dan empat puluh kewajiban yang
berfungsi sebagai penguat dan pemerkokoh komitment terhadap sepuluh rukun
bai’at tersebut.Pada akhir risalah,ia memberikan kata akhir :” Wahai saudaraku
yang jujur, inilah dakwah anda secara global, penjelasan singkat pemikiran
anda, dan kami bisa meringkas prinsip-prinsip tersebut dalam lima kalimat :
Allah tujuan kami, Rasul teladan kami, al-Qur’an syari’at kami, Jihad jalan
kami, dan syahadah cita-cita kami yang paling tinggi. Phenomenanya dapat kami
ringkas sebagai berikut: Kesederhanaan,Tilawah, shalat, kepeloporan, dan
akhlak.Jadikan jiwa kamu memeganginya dengan sekuatnya, kalau tidak maka pada
barisan orang-orang yang lemah sangat terbuka lebar bagi orang-orang yang malas
dan tak peduli.[12]
Yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini addalah rukun bai’at yang pertama ( pemahaman), karena di dalamnya
terdiri dari dua puluh dasar pemikiran Hasan al-Banna untuk menyatukan persepsi
umat Islam terhadap ajaran Islam.khususnya dasar keenam dan kedelapan yang
terkait langsung dengan fiqh ikhttilaf.
Dalam dasar keenam ia berkata:”
Setiap orang dapat ditolak ucapannya, kecuali al-Ma’shum ( Rasulullah
saw.).Segala yang datang dari pendahulu kita yang tidak sesuai dengan al-Qur’an
dan al-Sunnah kita terima sepenuh hati.Bila tidak, maka al-Qur’an dan al-Sunnah
lebih utama untuk diikuti.Namun demikian kita tidak boleh mencacimaki dan menjelek-jelekkan pribadi
mereka dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan, serahkan saja kepada
niat mereka, sebab mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan”.
Dari dasar pemikiran keenam ini
dapat ditarik dua hal penting yang terkait dengan fiqh ikhtilaf. Pertama, Rambu-
rambu yang menjadi acuan dalam menyikapi perbedaan pendapat . Kedua, adab sopan
santun terhadap para ulama pendahulu kita.
Selanjutnya dalam prinsip ketujuh
,ia berkata:”
“Setiap
Muslim yang belum meraih predikat al-nadhar(ijtihad) terhadap hukum-hukum
furu’,hendaknya mengikuti salah seorang imam.Namun lebih baik lagi kalau sikap
mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya dalam memahami dalil-dalil
yang dipergunakan oleh imamnya,dan hendaklah ia mau menerima setiap masukan
yang disertai dalil,jika ia percaya terhadap kejujuran dan kapabilitas orang
yang memberi masukan tersebut, dan jika ia termasuk kategori ilmuwan, hendaknya
berusaha menyempurnakan kapasitas keilmuannya
yang kurang sehingga mencapai predikat al-nadhar”.[13]
Dari prinsipketujuh ini al-Banna
mengklasifikasi kapasitas orang muslim
dalam menerima dan menkaji dalil-dalil yang dijadikan acuan dalam menggali hukum
islam(fiqih) khususnya yang terkait dengan masalah furu’iyah yang biasanya
terjadi banyak perbedaan pendapat antar
para fuqaha’. Kelompok pertama,adalah
para mujtahid yang disebutnya dengan “ahlu al-nadhar”.Orang yang mencapai predikat
mujtahid dituntut untuk mengikuti hasil ijtihadnya ,sedangkan yang kedua,adalah
orang awam yang kemampuannya terbatas pada mengikuti pendapat para imam .Yang termasuk kelompok ini diperkenankan
untuk taqlid( mengikuti)salah satu pendapat para imam mujtahidin.Kendati
demikian,kelompok ini dianjurkan oleh al-Banna untuk tidak sekedar
taqlid,tetapi berupaya untuk mengenal dalil yang digunakan imamnya ,dan jika
ada masukan pendapat dari orang yang dipercaya kapalitas keilmuan
dan kejujurannya,hendaknya ia menerima dengan lapang hati .Kelompok ketiga,adalah
orang-orang yang memiliki kapabiltas keilmuan yang memadai dan mampu
mentarjih(menguatkan dalil-dalil yang digunakan oleh para Imam Madzhab, atau
menguatkan pendapat salah satu imam) dianjurkan untuk mengakselerasi kapasitas
keilmuannya agar mampu meraih predikat mujtahid dan mujaddid (reformer).
Dalam prinsip kedelapan,ia berakata:
“Perbedaan
paham dalam masalah-masalah furu’,jangan dijadikan penyebab terjadinya perpecahan
dalam agama,dan tidak menyeret kepada
permusuhan dan tidak juga kepada kebencian.Para mujtahid akan mendapatkan
pahala masing masing.Tidak ada larangan untuk melakukan kajian ilmiah mendalam
yang objektif terhadap persoalan-persoalan yang diperselisihkan,dalam suasana
cinta kepada Allah dan kerjasama, untuk meraih kebenaran yang sesungguhnya, dan
tanpa menyeret kepada debat yang tercela dan kefanatikan .” [14]
Pernyataan perbedaan dalam furu’,
menunjukkan bahwa yang menjadi fokus masalah yang dibicarakan oleh al-Banna
adalah perbedaan yang bersifat furu’iyah dan bukan persoalan aqidah dan hukum
yang bersifat fundamental.Oleh karenanya tidak
boleh dijadikan faktor pemecah belah dalam agama dengan melempar tuduhan sesat,
bid’ah apalagi sampai pada taraf mengkafirkan. Perbedaan dalam furu’ ini tidak
boleh juga mengakibatkan pada permusuhan atau kebencian, karena tidak terkait
dengan persoalan meninggalkan yang fardhu atau melanggar hal diharamkan oleh syara’, tetapi menyangkut persoalan yang
justru diajurkan untuk dilakukan ijtihad.Kalau tidak tepat, seorang mujtahid
akan dapat satu pahala, an kalau benar ia akan dapat dua pahala. Oleh karenanya
menurut Hasan al-Banna, seorang mujtahid akan dapat pahala sesuai nilai benar
dan tidaknya.
Hasil ijtihad yang bervariasi dan
berbeda masih mungkin untuk dilakukan studi ulang untuk mendapatkan pendapat yang
lebih kuat dengan mempergunakan prinsip-prinsip dan kaidah yang diakui oleh
para ulama’ atau dengan cara mendiskusikannya dengan mereka dalam suasa ilmiah
dan ukhuwah sehingga tercapai hasil yang objektif.
Hasan al-Banna tidak hanya berbicara
tentang bagaimana menyikapi ikhtilaf fiqhi pada dua kaidah dalam Risalah Ta’lim
saja, tetapi juga berbicara dalam risalah yang lain seperti Risalah Dakwatuna.
Dalam risalah ini ia berkata:“ Sekarang saya akan berbicara kepada kalian tentang
dakwah kami dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam bidang agama dan madzhab.
“Ketahuilah
– semoga Allah memberikan pemahaman kepada anda- pertama, bahwa dakwah al-
Ikhwan al- Muslimun dakwah umum tidak berasosiasi pada golongan tertentu, dan
tidak berafiliasi pada pendapat yang terkenal oleh publik dengan warna yang
khas, keharusan dan dan komitmen spesifik, ia mengarah pada inti agama. Kami
menginginkan seluruh sisi pandang dan keinginan kuat menyatu sehingga aktivitas
lebih efektif dan produknya lebih lebih
besar.Dengan demikian dakwah Ikhwan merupakan dakwah yang putih nan
jernih, tidak diwarnai dengan warna tertentu, ia bersama kebenaran dimana ia berada,
cinta kebersamaan, tidak suka yang nyeleneh( lain dari yang lain ), dan bahwa sesuatu paling besar
yang mematikan kaum muslimin
adalah perpecahan dan perbedaan, dan dasar kemenangan mereka adalah cinta dan
persatuan.Tidak akan baik generasi akhir ummat ini kecuali dengan apa yang
membuat baik generasi pertama. Inilah kaidah dasar dan tujuan yang sudah diketahui
oleh setiap muslim, dan merupakan aqidah kami yang menancap dalam jiwa kami,
dan menjadi sumber rujukan kami serta kami berdakwah kepadanya”.[15]
Kendati demikian kami yakin
bahwa khilaf dalam furu’ (cabang) agama merupakan hal yang niscaya, dan tidak mungkin
kita bersatu dalam furu’ dan pendapat-pendapat madzahib karena banyak sebab
diantaranya:
- Perbedaan akal dalam
kekuatan dan kelemahan dalam istimbat , pengetahuan dan kebodohan terhadap
dalil serta kemampuan menyelami makna yang paling dalam, korelasi antara
yang satu dengan selainnya, dan agama terdiri dari ayat-ayat ,
hadits-hadits dan teks-teks yang diintrepretsi oleh akal dan nalar dalam
batasan bahasa dan kaidah-kaidahnya, sedangkan manusia dalam hal terseebut
sangat bervariasi ( kemampuannya) sehingga pasti terjadi khilaf (
perbedaan).
- Keluasan dan kedangkalan
ilmu, yang ini mencapai sesuatu yang tidak dicapai oleh yang itu , yang
lainnya demikian juga halnya. Imam Malik berkata kepada Abu Jakfar:” Sesungguhnya
para sahabat Rasulullah berpencar di seluruh kota dan setiap kaum memiliki
ilmunya sendiri, jika kamu memaksa mereka pada satu pendapat maka akan terjadi fitnah.
- Perbedaan lingkungan
sehingga aplikasinya berbeda sesuai dengan perbedaan lingkungan tersebut.Imam
Syafi’I r.a. memberi fatwa lamanya di Iraq dan fatwa barunya di Mesir, dan
dalam kedua fatwa itu beliau mengambil apa yang nampak dan jelas dalam
pikiraannya serta tidak lepas dari objektifitasnya
untuk mencapai kebenaran.
- Perbedaan ketenangan hati
terhadap riwayat ketika ditransfer kepadanya, ada Imam yang melihat
perawinya tsiqah ( terpercaya ) dimana ia merasa nyaman dan tenang hatinya
untuk menerimanya, sementara yang
lain memandangnya memiliki kekurangan karena ia mengetahui kondisi perawi.
- Perbeaan penilaian terhadap
dalil-dalil , ada yang menjadikan perbuatan orang banyak lebih
dikedepankan daripada khabar Ahad, sedangkan yang lain tidak menganggap
demikian
Semua faktor-faktor ini menjadikan kami berkeyakinan bahwa ijma’
( konsesnsus ) dalam dalam satu persoalan furu’ agama suatu hal yang mustahil,
bahkan hal tersebut tidak sesuai dengan tabi’at agama ini.Allah menghendaki
agama ini kekal dan mampu mengikuti perkembangan masa dan waktu, dan oleh
karenanya agama ini mudah, elastis, lembut , tidak statis dan tidak pula ketat.
Kami meyakini ini dan kami
mencari segala alasan maaf kepada mereka
yang bebeda pendapat dengan kami dalam pesoalan furu’, dan kami memandang
perbedaan pendapat tidak boleh selamaanya menjadi penghalang keterikatan hati,
saling mencintai dan bekerjasama dalam kebaikan…ikhwan dalam hal ini sangat
berlapang dada dengan yang brebeda pendapat , dan memandang bahwa pada diri
satu kelompok masyarakat terdapat ilmu pengetahuan, dan di setiap dakwah
ada kebenaran dan kebathilan, dan mereka
secara objektif mengambil kebenaran serta berusaha dengan cara lemah lembut dan negosasi untuk meyakinkan
orang yang berbeda pendapat dengan sisi pandang mereka. Jika mereka puas,
itulah yang diharapkan dan kalau tidak, mereka adalah sadara kita seagama dan
kami memohon hidayah untuk kami dan untuk mereka.Itulah metode Ikhwan dalam
menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam persoalan
furuiyah agama Allah, yang hal ini bisa kami ringkas sebagai berikut: Ikhwan
membolehkan adanya khilaf dan tidak suka fanatisme terhadap pendapat, berupaya
untuk mencapai kebenaran dan menggiring manusia kepadanya dengan sarana yang
paling lembut, dan penuh kecintaan.[16]
Analisis Fiqh Ikhtilaf Perspektif Hasan
al-Banna
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa temuan penting
dalam fiqh itkhtilaf perspektif Hasan al- Banna sebagaimana berikut:
a.Rambu-rambu
dalam menimbang pendapat para Mujtahid
Hasan al-Banna menegaskan bahwa
pendapat para Mujajid tidak mesti benar dan terlepas dari kesalahan sehingga pendapatnya
tidak harus diterima secara bulat.Hanya al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya yang
memiliki kebenaran hakiki.Demikian juga hasil ijtihad mereka yang termasuk katergori mutghayyirat(fleksibel)dan
dipraktikkan pada zaman mereka,tidak mesti diikuti dan dipaksakan jika tidak sesuai dengan
kondisi masa kini.Pengertian mengembalikan
segala persoalan yang masih diperselisihkan kepada dua sumber tersebut ada
dua kemungkinan.Pertama,merujuk kepada teks al-Qur’an dan Sunnah yang penunjukan hukumnya bersifat dzanni untuk
dikaji ulang,atau kedua,mengembalikan kepada
kepada kaidah-kaidah universal
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
.Pada sisi lain, kita yakin tidak ada satu dari para Imam
atau orang yang pendapatnya diterima secara luas oleh umat Islam yang sengaja
melakukan pembangkangan terhadap sunnah Rasulullah saw. sekecil apa pun. Mereka
sepakat dan yakin seyakin yakinnya akan keharusan mengikuti sunnah Rasulullah
sw. dan bahwa hanya Rasulullah saw. yang
terjaga dari kesalahan berkat bimbingan Allah SWT.lewat wahyu, sebagaimana
firman-Nya:
“
Dan tiadalah apa yang diucapkan itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan ( kepadanya).( Q,S. 53: 3-4 ).
Kaidah-kaidah Ushuliyah yang menyatakan “ Tidak boleh ada
qiyas selama ada khabar” , Apabila ada atsar maka batallah nalar , dan “ Tidak
ada Ijtihad dengan adanya nash “ , menunjukkan bahwa tradisi para mujtahid
salaf dalam mengembangkan ijtihadnya selalu terikat dengan kaidah-kaidah
tersebut.
Imam
al-Syafi’i berkata :” Aku tidak mendebat seseorang kecuali yang aku harapakan
munculnya kebenaran dari lisaannya “. Di lain kesempatan beliau berkata :”
Perkataannku ( pendapatku ) benar tapi berpotensi salah, dan pendapat selainku
salah tapi berpotensi benar”, Aku tidak peduli apakah kebenaran datang dariku
atau dari lisan lawanku”.[17]
Jika ada terkesan pendapat salah
satu dari mereka bertentangan dengan hadits shahih, bisa jadi karena mereka
memilki alasan meninggalkan hadits tersebut. Alasan mereka bisa dikategorikan
menjadi tiga hal, Pertama, mereka tidak yakin bahwa hadits itu sabda Rasulullah
saw. Kedua, tidak yakin bahwa Rasulullah saw. menghendaki masalah tersebut
dengan sabdanya itu. Ketiga, Keyakinan mereka bahwa hadits tersebut mansukh.
Oleh
sebab itu tidak boleh tergesa-gesa menilai pendapat mereka dan meragukan niat
baik mereka apalagi mencaci dan merendahkan martabat mereka. Mereka telah
berbuat banyak untuk Islam dan sudah meninggal dunia. Inilah yang ditekankan
oleh al-Banna dalam dasar pemikiraannya yang keenam.Sikap seperti ini sesuai
dengan semangat ajaran Islam yang dituangkan dalam firman Allah :” Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka ( Muhajirin dan Anshar ), mereka
berdo’a, Ya Tuhan kami,ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami,dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman.Ya Tuhan kami sungguh Engkau Maha Penyantun,
Maha Penyayang “. ( Q.S.59 : 10 ).
Sikap seperti ini tidak asing
bagi mereka, karena al-Qur’an sendiri mengajari mereka untuk bersikap objektif
, sebagaimana al-Qur’an mengakomodir pendapat Ratu Saba’ yang bijak kendati ia
musyrik, ketika sang ratu memberikan pendapatnya dalam menanggapi surat Nabi
Sulaiman dengan berkata:” Sesungguhnya para raja kalau memasuki sesuah desa
mereka akan merusaknya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina “. (
QS. Al-Naml : 34 ).
Hasan al-Banna dengan kaidah keenam
dalam Risalah al-Ta’alin ini ingin menyampaikan pesan bahwa para mujtahid tidak
terlepas dari kesalahan karena mereka
pun mengkuinya, dan tidak memaksakan kita mengikut hasil ijtihad mereka.
b.Adab
sopan santun terhadap para ulama salaf
Ulama adalah pewaris Nabi saw.dalam
menjalankan dakwah, meneliti dan menyebarkan ajaran Islam dengan harta dan jiwa
mereka.Dengan pengorbanan semacam ini pantas untuk diapresiasi, dimuliakan dan diperlakukan
secara sopan ,bukan dihujat dan dicaci maki apalagi dalam masalah yang masih
diperselisihkan dan masuk wilayah ijtihad.Jika mereka salah akan dapat satu
pahala, dan jika benar akan mendapatkan dua pahala.Seharusnya jika ada pendapat
mereka yang kurang kuat, hendaknya dijelaskan letak kelemahannya dengan
mengkritisi kelemahan pendapat tersebut serta memberikan argumentasi lain yang lebih kuat dengan tanpa menyalahkan
dan memakai bahasa yang sopan.
Al-Qur’an menasehatkan kita
dalam berdebat untuk mempergunakan argumnetasi dan kata yang lebih baik dengan
lawan debat kita.Untuk itu Allah SAWT. Menyuruh Nabi Musa dan Harun as. untuk
berkata lemah lembut kepada Fir’aun, dan agar mereka jangan lupa berdo’a kepada
Allah agar upaya berhasil menasehati
Fir’aun mebuahkan hasil.
Ibnu al-Qayyim dalam bukunya “
I’lam al-Muqi’in “ menyatakan bahwa orang mencaci ulama kemungkinannya ada dua,
Pertama, ia tidak tahu kapasitas atau keutamaan para ulama . Kedua, tidak tahu
hakekat syari’at yang dengannya Allah mengutus para Rasul-Nya.Orang yang
mengerti syari’at dan kondisi riil akan pasti tahu bahwa seorang yang terhormat
dan telah banyak berbuat kebajikan untuk Islam dan pemeluknya bisa jadi melakukan
kekeliruan, tetapi ia diampuni dan bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya.
Oleh karenanya tidak boleh dicari-cari kesalahanya, dihabisi posisi dan
keimamahannya dari hati-hati orang mukmin”.[18]
Pendapat Ibnu Qayyim ini sejalan
dengan arahan al-Qur’an kepada orang-orang mukmin untuk menghargai para
leluhurnya dengan mendo’akan ampunan kepada Allah sebagaimana tertuang dalam
Surat al-Hasyr:10.Dengan demikian apa yang dikatakan Hasan al-Banna dalam
kaidah keenam di atas menunjukkan kearifannya dalam menyikapi dan menghargai perbedaan
pendapat para mujtahid terdahulu atau
para ulama kontemporer dalam hal yang masuk kategori wilayah ijitihad.
Al-Banna
dalan tulisan-tulisannya tidak pernah menghujat balik orang yang bersebrangan dengan
pemikirannya selama pemikiran itu masuk dalam masalah yang dibolehkan
ijtihad.Dia lebih menkankan kaidah” Kita sepakat dalam hal-hal yang kita
sepakati bersama,dan saling memahami dalam hal di mana kita berbeda pendapat “
dan berlapang dada,saling menghormati sebagimana yang dipraktikkan oleh ulama
terdahulu sebelum munculnya era kefanatikan terhadap madzhab.Potensi umat Islam
seharusnya disergikan untuk membangun kembali kejayaan umat Islam sesuai dengan
tantangan zamannya ,segaimana para pendahulu kita telah membangunnya dengan
berpedoman pada perintah Allah kepada Rasul:” Tegakkan agama dan jangan kalian
bercerai-berai”(QS. Al-Syura:13), dan
firman-Nya:”Dan berpegang teguhlah kepada tali Allah dan jangan bercerai berai”.(QS.Ali
Imran:103)
Pada prinsipketujuh,al-Banna
menjelaskan persoalan taqlid dan ijtihad .Persoalan ini dimunculkan karena
realitas menunjukkan ada empat kesalahan
dalam kajian fiqh: pendapat ekstrim yang berpendapat bahwa kebenaran hanya ada
di madzhab yang dianutnya,dan ada yang dari awalnya membenci fiqh, ada pula yang menolak menkaji al-Qur’an dan
Sunnah demi mempertankan fiqh,sementara yang lain menolak fiqh dengan alasan
al-Qur’an dan Sunah.[19]
Hasan al-Banna mengambil sikap
moderat sebagaimana halnya para ulama generasi awal.Ia tidak mengaruskan semua
orang berijtihad dan tidak pula mengaruskan semua orang bertaqlid,tetapi
diserahkan kepada kapasitas diri sesorang;apakah dia orang awam,intelektual
yang mencapai tingkat mujtahid atau murajjih
baik murajjih madzhab atau murajjih para madzhab.Yang menarik dari pendapatnya
adalah, bahwa selain mujtahid dianjurkan untuk mengembangkan potensi dirinya
agar tidak tetap berada pada posisi muqallid yang fanatik,tetapi hendaknya
bersikap objektif dan terbuka terhadap pendapat orang lain yang lebih kuat dan
dipercayai kapasitas keilmuan dan moralitasnya.
Persoalan hukum yang masih
diperselisihkan,menutunya masih terbuka peluang untuk diiskusikan ulang degan
semangat ikhlas mencari kepastiannya dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.Bahkan
hasil ijtihad yang sudah diterima dan dipraktikkan masa tertentu yang diwarnai
dengan warna budaya tertentu pula dan tidak layak lagi untuk masa kini, bisa
dikaji ulang dengan semangat kembali kepada esensi dan kaidah-kaidah universal
ajaran al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para sabahat dan
salaf al-shaleh , agar kita tidak terkekang dengan sesuatu yang sebenanya Allah
tidak mengekang kita,dan memaksakan masa hidup kita ini diwarnai dengan masa
yang tidak sesuai lagi,padahal Islam agama untuk seluruh lapisan manusia.[20]
Pemahaman salaf yang seperti ini,disebutnya dengan kembali kepada “ al-Ma’in al-Shafi (sumber yang jernih) atau
“ma’in al-suhulah al-ula”(sumber pertama yang mudah),yaitu pola pikir yang
tetap menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan utama serta merujuk kepada hasil pemikiran para ulama
terdahulu setelah ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan Sunnah yang
shahih dan fiqh realitas, sehingga mampu menjawab berbagai persoalan yang
dipertanyakan lewat lisan-lisan orang
yang hidup dan bukan dengan fatwa-fatwa orang yang sudah meninggal dunia. Salah
satu contoh,al-Banna tidak menolak konstitusi Mesir yang diletakkan pada tahun
1923 M.walaupun banyak diadopsi dari Eropa, tetapi prinsip-prinsipnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam,karena menurutnya,
prinsip-prinsip dan falsafah-falsafah dan tujuan-tujuan yang dihadirkan Islam
dalam mensiasati umat dan Negara bisa dilakukan dengan al-nudhun
al-madaniyah(system civil society )
dan al-Tajarajarib al-insaniyah(eksperimen manusia) yang semuanya hasil karya
manusia-Muslim atau non Muslim-.Standar peneriman dan penolaknnya adalah
seberapa jauh ia mampu merealisir tujuan-tujuan Islam dalam melibatkan umat
dalam membuat keputusan-keputusan dan merealisir keadilan di tengah-tengah
masyarakat.[21]
c.Ikhtilaf dalam furu’ dan faktor-faktor
penyebabnya
Ikhtilaf dalam furu’ sebuah
keniscayaan dan fakta sejarah dalam
kehidupan komunitas Muslim periode awal.Faktor-faktor penyebabnya
dipaparkan oleh Hasan al-Banna dengan cukup jelas; perbedaan kemampuan nalar,
keluasan ilmu, situasi dan kondisi
masyarakat, kepuasan terhadap status riwayat dan pilihan dalam menentukan penunjukan makna
( sebuah lafadz).
Setiap mujtahid memiliki standar kemampuan nalar yang melebihi standar
kemampuan nalar rata-rata selain mereka.Oleh karenanya seorang mujtahid harus
memiliki independensi dalam berpendapat , tidak boleh taqlid dan muttabi’ pada
mujtahid yang lain.Argumentasi yang bervariasi dari masing-masing mijtahid
dalam menetapkan status hukum pada satu permasalahan menunjukkan keahlian dan
indepensi dalam istimbat hukum syar’i, dan sekaligus menunjukkan perbedaan
kemampuan nalar mereka dalam mengekplorasi makna teks al-Qur’an. Perbedaan
pendapat tersebut seharusnya dipandang keluesan hukum Islam dalam merespon
berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat sehingga mereka bisa
memilih yang diyakini lebih tepat dan benar dan memungkinkan untuk dipraktikkan
dalam realitas sosial lingkungannya.
Berdasarkan fakta di atas, Hasan al-Banna
menyikapi perbedaan ijtihad dalam hal yang bersifat furu’iyah dengan penuh
bijaksana baik dalam teori atau pun praktiknya.Motivasinya,bagaimana bagaimana
menyatukan umat Islam dan merakit ukhuwah islamiyah yang kokoh sehingga
memiliki potensi dahsyat dan luar biasa
seperti para pendahulunya.Oleh karena letak motivasi ada di dalam hati,ia tak
lupa berwasiat kepada seluruh yang
mendukung pemikiran dan dakwahnya untuk membaca do’a ikatan hati setelah selesai membaca ma’tsurat(doa-doa pilihan dari
Hadits Nawabi) dan wirid Qur’ani pilihan pagi dan sore ,sebagaimana berikut :
“Ya
Allah,sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa hati-hati ini telah menyatui untuk
mencintai-Mu,bertemu untuk menta’ati-Mu,dan berjanji untuk menolong
syari’at-Mu,maka teguhkanlah ya Allah ikatan (hati)mereka,langgengkan cinta
kasihnya,tunjukilah jalan-jalannya,penuhilah dengan cahaya-Mu yang tiada pernah
redup,lapangkanlah dadanya dengan luapan iman kepada-Mu dan katawakkalan yang
indah kepada-Mu,dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu.Sesungguhnya Engkau
Pelindung Yang Terbaik dan Penolong Yang Terbaik.[22]
Penutup
dan kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
ditarik bebrapa kesimpulan berikut:
- Ikhtilaf dalam furu’
menurut al-Banna merupakan suatu keniscayaan dan alamiyah sesuai dengan
tabi’at manusia yang memiliki kecendrungan dan kapasistas keilmuan yang berbeda-beda.Dan
karenanya tidak boleh fanatik terhadap satu pendapat saja dan menafikan
atau menutup diri dari pendapat yang lain yang lebih realistis dan sesuai
dengan perkembangan zaman selama pendapat itu sesuai dengan kaidah-kaidah
ijtihad yang berlaku.
- Perbedaan pendapat
seharusnya dipandang keluesan Syari’ah Islam dan tidak boleh memicu dan
dijadikan pemicu perpecahan ummat.Sebaliknya hendaknya dipahami dan
dijadikan sarana memahami pendapat orang lain sehingga terjadi kesepahaman
dan saling hormat-menghormati serta memperkokoh ukhuwah islamiyah.Dan
karenanya ulama yang memiliki ijitihad yang berbeda tidak boleh dihujat
dan dicaci ,tetapi seharusnya diapresiasi dan dihormati.
- Permaslahan perbedaan
furu’yang belum terselaikan,bisa dikaji ulang untuk dicari sisi
kesamaannya dengan mengedepankan keikhlasan,kejujuran hati dan ukhuwah
islamiyah,dan jika tidak terselesaikan juga, ia menganjurkan agar
kaidah”kita sepakat pada hal-hal yang kita sepakati bersama ,dan saling
mema’afkan pada hal-hal yang kita tidak sepakat” sebagaimana semangat do’a
yang sering kita lantunkan “Ya Allah jadikanlah pertemuan ini menjadi
pertemuan yang penuh rahmat,dan perpisahan kami menjadi perpisahan yang terpelihara
(dari dosa) .
- Keikhlasan dan kejujuran
dalam menerima perbedaan pendapat ini seharusnya diimbangi dengan do’a
ikatan persaudaraan sehingga betul-betul menjadi energi dahsyat yang
muncul dari lubuk hati yang paling dalam untuk memperkokoh fondasi bangunan
masyarakat muslim yang dibangun atas dasar iman,taqwa dan ukhuwah
islamiyah.Hati-hati manusia ibarat prajurit-prajurit yang memiliki senjata
lengkap,satu dan lainnya akan
merasa familiar jika
mengenalnya,sebaliknya jika saling memungkiri akan saling bersebrangan.
- Untuk mengenal dan mendalami
pemikiran al-Banna dalam proyek peradaban yang digagasnya, perlu dilakukan
kajian mendalam terhadap buku-buku yang ditulisnya,terutama dalam kumpulan
risalah dakwahnya (Majmu’atu al-Rasail ). Wallahu a’lam bi al-shawab
Referensi
- Abdullah Qasim al-Wasyli,al-Nahju
al-Mubin lisyarhi al-Ushul al-‘Isyrin,(Jeddah,Darul Mujtama’,1990
- Muhammad Fathi Ali
Sya’ir,Rasa’il al-I’lam al-Mathbu’ah Fi Dakwati al-Ikhwan
al-Muslimun,(Jeddha,Dar al-Mujtama’,1045H.
- Hasan al-Banna,Majmu’atu
al-Rasa’il,Cairo,tt.
- Hasani Adham
Jarrar,al-Dakwah ila al-Islam Mafahim wa Minhaj wa Wajibat,(Yordania,Dar
al-Dhiya’,1984
- Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah,I’lam al-Muqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin,Mesir,Dar al-Kutub
al-Haditsah,tt.
- Muhaammad Abdullah al-Khathib
dan Muhammad Halim Hamid,Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan,terj,(Bandung,Asy-Syamil
Press,2001
- Muhammad al-Ghazali,Dustur
al-Wihdah al-Tsaqafiyah Baina al-Muslimin,Cairo,Dar al-Anshar,tt.
- Muhammad Imarah,Ma’alim
al-Masyru’ al-Hadhari fi Fikri al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna,
- Utsman Abdul
Mu’iz,Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin,terj.(Solo,Intermedia,2000
- Zakaria Sulaiman,al-Ikhwan
al-Muslimun wa al-Jama’at al-Islamiyah Fi al-Hayah al-Siyasiyah
al-Mishriyah,Cairo,Maktabah Wahbah,1979
- Thal’at Muhammad Afifi,Adab
al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah Wa Aytsaruhu
fi al-Amal al-Muashir, Nashr City,Dar al-Salam,2005
- Isham al-Basyir,Adhwa’ ‘Ala
al-Ushul al-‘Isyrin,Kuwait,Maktabah al-Manar,1990
[1]
Dr.Thal’at Afifi,Adab al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah wa Atsrahu fi al’amal
al-Islamial-Mu’ashir,Dar al-Salam,2005) hlm.9
[2]
Ibid,hlm.63-64
[3]
Ibid,hlm.61
[4].Dr.Utsman
Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwan Muslimin, hlm.177-178
[5].Hasani
Adham Jarrar, al-Qudwah al-Shalihah, ( Yordania, Dar al-Dhiya’, 1985 ) hlm.109
[6] Idem,
hlm.178
[7]. Idem,
hlm.179-180
[8].Utsman
Abdul Muiz,hlm.183
[9]
Dr,Zakariya al-Bayumi, al-Ihkwan al-Muslimun wa al- Jama’at al-Islamiyah fi
al-Hayat al-Siyasiyah al-Mishriyyah , ( Cairo, Maktabah al-Wahbah, 1979 )
hlm.81
[10] Lihat:
Muhammad Fathi Ali Sya’ir,Wasail al-I’lam al-Mathbu’ah Fi Dakwati al-Ikhwan
al-Muslimin,(Jeddah,dar al-Mujtama’,1405 H.),hlm.:231-324
[11]
Muhammad Fathi Ali Sya’ir,Rasail al-Mathbu’ah fi Dakwati al-Ikhwan
al-Muslimin,hlm.124
[12]Lihat:
Hasan al-Banna,Majmu’atu al-Rasail,hlm.7-26
[13]Ibid,hlm.8-7
[14]
Ibid,hlm.8-9
[15]
Ibid.hlm.112-113
[16] Lihat:Majmu’atu
al-Rasail,hlm.113-116
[17]
Lihat:Abdullah Qasim al-Wasyli,al-Nahju al-Mubin Lisyarhi al-Ushul
al-‘Isyrin,(Jeddah,Dar al-Mujtama,1990)hlm.163, Isham Ahmad al-Basyir,Adhwa’
‘Ala al-Ushul al-Isyin,(Kuwait,Maktabah al-manar al-Islamiyah,1990),hlm.73
[18] Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah,I’lam al-Muqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin , Juz
III,(Mesir,Dar al-Kutub al-Haditsah,tt),hlm.353
[19]
Abdullah Qasim al-Wasyli,Al-Nahju al-Mubin Lisyarhi Ushul al-‘Isyrin,hlm.168
[20]
Muhammad ‘Imarah,Ma’alim al-Masyru’ al-Hadhari fi Fikri al-Imam al-Syahid
Hasan al-Banna,hlm.16
[21] Ibid
[22] Hasan
al-Banna,Majmu’atu al-Rasail,hlm.623-624