Minggu, 04 Agustus 2013

Fiqh Ikhtilaf Perspektif Hasan al-Banna




FIQH IKHTILAF PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA
Oleh : Mohammad Bashri Asyari

Abstrak

Perbedaan pendapat dalam furu’ yang  pada masa generasi awal dipandang sebagai keluasan ajaran Islam ,dalam perjalanan sejarahnya  berubah menjadi faktor kefanatikan terhadap pendapat madzhab tertentu, dan menjadi pemicu   keretakan ukhuwah. Hasan al-Banna mencoba melakukan upaya menyadarkan umat Islam dengan meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah  dengan cara mengedepankan keikhlasan,kejujuran , kelapangan dada,saling memahami kapasitas dan posisi masing-masing , dibawah naungan semangat memperkokoh Ukhuwah Islamiyah yang menjadi salah satu fondasi dan pemerkokoh soliditas stuktur  bangunan sosialnya.


Mukaddimah
            Ikhtilaf(Perbedaan pendapat) dalam memahami teks-teks al-Qur’an atau pun Hadits merupakan satu hal yang wajar, alamiyah dan tidak pernah dipermasalahkan pada masa Nabi saw. Hidup, generasi sahabat,dan pada masa  genrasi tabi’in hingga masa munculnya para imam mujtahidin.Para fuqaha’ mujtahidin menyadari bahwa pebedaan pendapat antar mereka bukanlah disengaja,tetapi benar-benar karena objektifitas dalam  kberijtihad mencari pendapat yang benar semampu mereka.Mereka tidak pernah menklaim bahwa pendapat mereka bukan wahyu yang diwahyukan Allah kepada mereka sehingga wajib diikuti,tetapi masing-masing dari mereka mengatakan:”Ini pendapatku,ia benar tapi adabkemungkinan salah.Jika aku (ijtihadku)benar,maka datangnya dari Allah, dan jika salah,maka ia dating dari aku dan dari syaitan.[1]
 Tradisi menghargai perbedaan pendapat baru berubah pada generasi pengikut para mujtahidin yang sebagiannya fanatik buta terhadap pendapat imam mereka.Mereka aktif melilibatkan diri dalam debat terbuka  dengan pengikut madzhab yang lain dengan mempergunakan  bahasa yang cukup pedas serta mengabaikan adab dalam mengungkapkan perbedaan pendapat,bahkan sampai sampai tidak boleh mengawinkan anaknya karena keimanan lawan madzhabnya diragukan[2].Sebaliknya lawannya balik melawan dengan memfatwakan bahwa kalau makanan kena setetes minuman keras ,maka hendaknya dilempar ke kambing atau kepada pengikut Madzhab Hanafi[3]
Situasi perpecahan umat akibat  intoleransi perbedaan pendapat semakin parah ketika hal tersebut dibawa ke mimbar masjid . Masjid  yang dulunya menjadi sarana pemersatu umat Islam berubah menjadi sarana empuk untuk mempertajam perbedaan madzhab, sehingga para pengunjung pun terbatas pada mereka yang mengikuti madzahab sang imam/khatib.
 Hasan al-Banna yang juga hidup serta menyaksikan kondisi ummat Islam di Mesir seperti di atas,ditambah lagi dengan upaya  Inggris sebagai penjajah yang selalu mengambil peluang perpecahan umat Islam di Mesir untuk melemahkan negerinya secara politik , mencoba memberi solusi pemikiran dengan mengajukan dua puluh kaidah pemahaman tentang Islam, yang dengannya diharapkan bisa memberi solusi dalam mengatasi perpecahan di kalangan umat Islam yang diakibatkan oleh perselisihan paham, baik yang terkait dengan permasalahan aqidah atau mu’amalah, dan diharapkan  mampu membawa Mesir bersatu untuk memerdekakan diri dari penjajahan Inggris dari berbagai aspeknya.
Makalah ini mencoba memaparkan dan menganalisis pandangan Hasan al-Banna yang terkait dengan bagaimana menyikapi perbedaan pendapat dalam persoalan yang menyangkut masalah furu’iyah saja yang dimuat dalam dua puluh kaidah pemahaman tentang Islam yang dikenal dengan “al-Ushul al-Isyrin”.    

Biografi Hasan Al-Banna
            Hasan al-Banna tercatat sebagai salah satu reformsis Muslim  kharismatik yang  mampu menjadikan sebuah wacana  menjadi sebuah gerakan yang dinamis sehingga organisasi yang dipimpinnya benar-benar solid dan mampu melahirkan kader-kader penerus yang  penuh didikasi dan mengakar di tengah-tengah masyarakatnya.Dakmigian- Dosen Ilmu Politik di Universitas New York- menegaskan bahwa  Hasan al-Banna adalaah seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan charisma, dan berdirinya Ikhwan Muslimun merupakan representasi dari pertemuan berbagai arus sosial yang kuat dalam kepribadian Hasan al-Banna yang kahismatis itu. Lebih lanjut ia mengatakan, “ al-Banna merupakan prototipe kepribadian kharismatis yang biasa muncul pada masa-masa krisis, untuk memainkan peran sebagai penyelamat sosial spiritual, sebagaimana definisi kharisma yang dikatakan oleh Weber”.[4]
            Ia dilahikan di  Mahmudiyah sebuah desa di Mesir pada tahun l906 M.di kalangan keluarga yang taat beragama dan bewawasan keilmuan yang luas. Ayahnya, Ahmad Abdurrahman  khatib masjid di Mahmudiyah, hafidz al-Qur’an dan ahli Fiqh dan Hadits serta banyak memiliki karya di bidang hadits .[5] Beliaulah yang memotivasi anakanya untuk menghafal al-Qur’an, banyak membaca dengan cara menghadiahkan buku-buku bacaan, menghafal matan ( teks ringkas ) kitab, dan keterampilan mereparasi jam.[6]
            Sekolah formalnya dimulai di sekolah yang berada di desanya, Madrasah al-Rasyad al- Diniyah. Salah satu gurunya yang selalu membimbingnya di luar sekolah adalah Syeikh Muhammad al-Zahran.Beliau seringkali megajak Hasan al-Banna ke perpustakaan pribadinya sehingga ia tertarik untuk menelaah dan banyak membaca.[7]
            Hasan al-Banna kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu’allimin di Damanhur. Dalam usianya yang kedua belas tahun,ia dan teman-temannya mendirikan “ Jam’iyah Man’I al-Muharramat” ( Organisasi Anti Kemungkaran ).Aksinya  sederhana yaitu dengan cara mengirim surat kaleng kepada orang yang diketahui mengerjakan kemungkran.Yang menarik lagi dalam usianya yang ketiga belas tahun setengah ia berbagung menjadi anggota Tarekat al-Hashafiyah dan menjadi sekretaris Organisasi Sosial al-Hashafiyah.Selama mengikuti tarekat ini beliau aktif membaca wazhifah al-Razuqiyah dan terwarnai oleh kegiatan-kegiatannya dalam tarbiyah ruhiyahanya dalam hal dzikir, wirid, kajian kitab Ihya’ Ulumuddin, shalat jama’ah, puasa Senin dan Kamis,kunjungan persaudaraan dan ziarah kubur untuk mengingat kematian. Al-Banana mengikuti tarekat ini sampai umur 21 tahun, saat ia mendirikan Organisasi al-Ikhwan  al-Muslimun.Ketika Revolusi Rakyat meletus tahun 1919, dia terlibat di dalamnya dengan bersyi’ir, demonstrasi,melakukan aksi dan mendengarkan orasi tentang problematika Negara dan perkembangannya.  [8]
            Pendidikan Mu’allimin diselesaikannya dalam usianya yang ke 16 tahun dengan menyandang peringkat pertama di madrasahnya dan peringkat kelima untuk tingkat Nasional Mesir, sehingga ia bisa diterima untuk melanjutkan studi di Univrersitas Dar al-Ulum. Semassa  kuliah di Darul Ulum, terjadi friksi antara kubu Partai Wafd dn Ahrar Dusturi ( Parai Konstituante Liberal).Kondisi ini memberi peluang kepada dosen dan mahasiswa untuk selalu terlibat dalam diskusi politik, sehingga  Hasan al-Banna bisa menambah wawasannya dalam hal politik. Setelah menyelesaikan tugas kuliah pada tahun l929M., ia mendapatkan tugas dari Universitas  untuk mengajar di salah satu Madrasah di Ismailiyah.
Pada awal kehadirannya di Ismailiyah Hasan al-Banna memulai apa yang selama ini dicita citakannya yaitu memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat. Tetapi satu hal yang perlu dicatat di sini bahwa ia memluainya bukan di Masjid, tetapi di kedai-kedai kopi. Hal ini dilakukannya karena di Masjid sudah terpengaruh dengan pertentangan  kelompok  politik dan pemikian, sementara ia menginginkan untuk bisa berkomunikasi dengan berbagai kalangan dan menyatukan mereka.Di antara para pendengar setia dari ceramaha-ceramah yang  ia sampaikan terdapat enam orang yang tertarik dengan gagasan-gagasan besarnya dan menemuhinya di rumahnya pada Bulan April l928 .Mereka membicarakan tentang metode  praktis untuk mengangkat kejayaan Islam dan kebaikan kaum Muslimin, serta menawarkan sejumlah harta sebagai dana operasional dakwah, dan terjadilah bai’at bersama.Ketika   berdiskusi tentang nama organisasi yang akan dibentuk, Hasn al-Banna berkata kepada mereka:” Kita ini saudara dalam pengabdian kepada masyarakat, jadi kita ini “ al-Ikhwan al-Muslimun “.[9] Sejak itulah nama al-Ikhwan al-Muslimun menjadi nama resmi dari organisasi yang dipimpinnya.      
            Untuk meyebarkan pemikirannya, beliau menerbitkan Koran dengan nama:” Jaridatu al-Ikhwan al-Muslimin “ dan Koran ini berumur 13 tahun, karena pada tahun 1946 dibredel . Beliau menerbitkan majalah lain  bernama “ al-Nadzir “. Hasan al-Banna juga diamanati oleh keluarga Rasyid al-Ridha untuk menjadi redaktur Majallah “ al-Manar “ setelah Syeikh Bahjat al-Baththar  yang menggantikan  Rasyid Ridha dan sempat meneruskan tafsir al-Manar sampai Surat Yusuf . Hasan al-Banna meneruskan tafsir al-Manar dari Surat al-Ra’du. Syeikh Mushthafa al-Maraghi yang kala itu menjabat Syaikhu al-Azhar menilai  Hasan al-Banna-  sebagai Pemred al-Manar yang baru-  memiliki kualitas dan integritas yang sama dengan pendahulunya Rasyid al-Ridha dalam melakukan reformasi keagamaan dan sosial . Namun sayang majalah al-Manar kemudian dibredel dengan penguasa Mesir setelah sempat terbit juz kesepuluh dan melengkapi jilid ketigapuluh lima.[10]
Buku-Buku Karya Hasan al-Banna
          Al-Banna tidak banyak menulis buku,ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mencetak kader-kader yang mampu menyebarkan visi peradaban Islam yang digagasnya,sebagaimana pernyataannya ketika diminta untuk menulis buku:
“Saya tidak akan menulis buku-buku yang yang nasibnya hanya sebagai penghias rak-rak buku dan perpustakaan,tetapi tugasku mencetak para rijal(kader-kader)yang akan kulempar ke setiap negeri lalu menghidupkannya,setiap mereka berposisi sebagai kitab hidup yang pindah menjumpai manusia,mengarungi akal dan hati-hati mereka,menyebarkan seluruh apa yang ada di benak,jiwa dan akalnya kepada mereka, dan setiap orang di antara mereka akan mencetak para kader(baru) sebagaimana ia sebelumnya telah dicetak menjadi kader”.
                 Beberapa karya tulisnya  yang sudah dibukukan,diantaranya:
  1. Mudzakkiratu al-Da’wah wa al-Da’iyah.Buku ini memuat catatan perjalanan dakwah Hasan al-Banna
  2. Majmu’atu al-Rasa’il.Buku ini memuat visi dan missi dakwah al-Banna dalam membangun peradaban Islam
  3. Nadzarat fi Kitabillah.Buku ini kumpulan dari tulisannya di berbagai media massa,temasuk Tafsir Surat al-Ra’du  sebagai pelengkap dari Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Rasyid Ridha dan tafsir dari Surat-Surat al-Qur’an yang lain.
  4. Nadzarat fi al-Sirah,Muqaddimah fi al-Tafsir,Ahadits al-Tsulatsa’ dan lain-lainnya.[11]

Hasan al-Banna dan Fiqh Ikhtilaf
            Pengalaman Hassan al-Baanna dalam berdakwah. Situasi politik di Mesir dan perpecahan yang melanda masyarakat Mesir dalam berbagai bidang kehidupan  khususnya setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah dan masuknya kaum imprealis barat di bumi Mesir, semakin mematangkan pemikirannya untuk memberikan solusi untuk mengangkat ummatnya dari keterpurukan dan mengembalikan kejayannya.Ia berijtihad untuk menemukan dasar-dasar pemahaman tenang Islam yang bisa dijadikan landasan pijak bersama unuk menyatukan ummat Islam dan para da’inya sertra mampu mengatasi perpecahan yang diakibatkan oleh ikhtilaf pemikiran .
            Risalah al-Ta’lim merupakan ijtihadnya yang mutakhir untuk memberikan solusi tersebut.Risalah ini terdiri dari sepuluh rukun bai’at: pemahaman, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan,ta’at, keteguhan, tajarrud ( loyalitas penuh), percaya, dan empat puluh kewajiban yang berfungsi sebagai penguat dan pemerkokoh komitment terhadap sepuluh rukun bai’at tersebut.Pada akhir risalah,ia memberikan kata akhir :” Wahai saudaraku yang jujur, inilah dakwah anda secara global, penjelasan singkat pemikiran anda, dan kami bisa meringkas prinsip-prinsip tersebut dalam lima kalimat : Allah tujuan kami, Rasul teladan kami, al-Qur’an syari’at kami, Jihad jalan kami, dan syahadah cita-cita kami yang paling tinggi. Phenomenanya dapat kami ringkas sebagai berikut: Kesederhanaan,Tilawah, shalat, kepeloporan, dan akhlak.Jadikan jiwa kamu memeganginya dengan sekuatnya, kalau tidak maka pada barisan orang-orang yang lemah sangat terbuka lebar bagi orang-orang yang malas dan tak peduli.[12]
            Yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini addalah rukun bai’at yang pertama ( pemahaman), karena di dalamnya terdiri dari dua puluh dasar pemikiran Hasan al-Banna untuk menyatukan persepsi umat Islam terhadap ajaran Islam.khususnya dasar keenam dan kedelapan yang terkait langsung dengan fiqh ikhttilaf.
            Dalam dasar keenam ia berkata:” Setiap orang dapat ditolak ucapannya, kecuali al-Ma’shum ( Rasulullah saw.).Segala yang datang dari pendahulu kita yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah kita terima sepenuh hati.Bila tidak, maka al-Qur’an dan al-Sunnah lebih utama untuk diikuti.Namun demikian kita tidak  boleh mencacimaki dan menjelek-jelekkan pribadi mereka dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan, serahkan saja kepada niat mereka, sebab mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan”.
            Dari dasar pemikiran keenam ini dapat ditarik dua hal penting yang terkait dengan fiqh ikhtilaf. Pertama, Rambu- rambu yang menjadi acuan dalam menyikapi perbedaan pendapat . Kedua, adab sopan santun terhadap para ulama pendahulu kita.
            Selanjutnya dalam prinsip ketujuh ,ia berkata:”
“Setiap Muslim yang belum meraih predikat al-nadhar(ijtihad) terhadap hukum-hukum furu’,hendaknya mengikuti salah seorang imam.Namun lebih baik lagi kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya,dan hendaklah ia mau menerima setiap masukan yang disertai dalil,jika ia percaya terhadap kejujuran dan kapabilitas orang yang memberi masukan tersebut, dan jika ia termasuk kategori ilmuwan, hendaknya  berusaha menyempurnakan kapasitas keilmuannya yang kurang sehingga mencapai predikat al-nadhar”.[13]
            Dari prinsipketujuh ini al-Banna mengklasifikasi kapasitas  orang muslim dalam menerima dan menkaji dalil-dalil  yang dijadikan acuan dalam menggali hukum islam(fiqih) khususnya yang terkait dengan masalah furu’iyah yang biasanya terjadi banyak perbedaan  pendapat antar para fuqaha’.  Kelompok pertama,adalah para mujtahid yang disebutnya dengan “ahlu al-nadhar”.Orang yang mencapai predikat mujtahid dituntut untuk mengikuti hasil ijtihadnya ,sedangkan yang kedua,adalah orang awam yang kemampuannya terbatas pada mengikuti pendapat para imam   .Yang termasuk kelompok ini diperkenankan untuk taqlid( mengikuti)salah satu pendapat para imam mujtahidin.Kendati demikian,kelompok ini dianjurkan oleh al-Banna untuk tidak sekedar taqlid,tetapi berupaya untuk mengenal dalil yang digunakan imamnya ,dan jika ada  masukan pendapat  dari orang yang dipercaya kapalitas keilmuan dan kejujurannya,hendaknya ia menerima dengan lapang hati .Kelompok ketiga,adalah orang-orang yang memiliki kapabiltas keilmuan yang memadai dan mampu mentarjih(menguatkan dalil-dalil yang digunakan oleh para Imam Madzhab, atau menguatkan pendapat salah satu imam) dianjurkan untuk mengakselerasi kapasitas keilmuannya agar mampu meraih predikat mujtahid dan mujaddid (reformer).
            Dalam prinsip kedelapan,ia berakata:

“Perbedaan paham dalam masalah-masalah furu’,jangan dijadikan penyebab terjadinya perpecahan dalam agama,dan tidak  menyeret kepada permusuhan dan tidak juga kepada kebencian.Para mujtahid akan mendapatkan pahala masing masing.Tidak ada larangan untuk melakukan kajian ilmiah mendalam yang objektif terhadap persoalan-persoalan yang diperselisihkan,dalam suasana cinta kepada Allah dan kerjasama, untuk meraih kebenaran yang sesungguhnya, dan tanpa menyeret kepada debat yang tercela dan kefanatikan .” [14]
           
            Pernyataan perbedaan dalam furu’, menunjukkan bahwa yang menjadi fokus masalah yang dibicarakan oleh al-Banna adalah perbedaan yang bersifat furu’iyah dan bukan persoalan aqidah dan hukum yang bersifat fundamental.Oleh karenanya   tidak boleh dijadikan faktor pemecah belah dalam agama dengan melempar tuduhan sesat, bid’ah apalagi sampai pada taraf mengkafirkan. Perbedaan dalam furu’ ini tidak boleh juga mengakibatkan pada permusuhan atau kebencian, karena tidak terkait dengan persoalan meninggalkan yang fardhu atau melanggar hal diharamkan  oleh syara’, tetapi menyangkut persoalan yang justru diajurkan untuk dilakukan ijtihad.Kalau tidak tepat, seorang mujtahid akan dapat satu pahala, an kalau benar ia akan dapat dua pahala. Oleh karenanya menurut Hasan al-Banna, seorang mujtahid akan dapat pahala sesuai nilai benar dan tidaknya.
            Hasil ijtihad yang bervariasi dan berbeda masih mungkin untuk dilakukan studi ulang untuk mendapatkan pendapat yang lebih kuat dengan mempergunakan prinsip-prinsip dan kaidah yang diakui oleh para ulama’ atau dengan cara mendiskusikannya dengan mereka dalam suasa ilmiah dan ukhuwah sehingga tercapai hasil yang objektif.           
            Hasan al-Banna tidak hanya berbicara tentang bagaimana menyikapi ikhtilaf fiqhi pada dua kaidah dalam Risalah Ta’lim saja, tetapi juga berbicara dalam risalah yang lain seperti Risalah Dakwatuna. Dalam risalah ini ia berkata:“ Sekarang saya akan berbicara kepada kalian tentang dakwah kami dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam bidang agama dan madzhab.

“Ketahuilah – semoga Allah memberikan pemahaman kepada anda- pertama, bahwa dakwah al- Ikhwan al- Muslimun dakwah umum tidak berasosiasi pada golongan tertentu, dan tidak berafiliasi pada pendapat yang terkenal oleh publik dengan warna yang khas, keharusan dan dan komitmen spesifik, ia mengarah pada inti agama. Kami menginginkan seluruh sisi pandang dan keinginan kuat menyatu sehingga aktivitas lebih efektif dan produknya lebih lebih  besar.Dengan demikian dakwah Ikhwan merupakan dakwah yang putih nan jernih, tidak diwarnai dengan warna tertentu, ia bersama kebenaran dimana ia berada, cinta kebersamaan, tidak suka yang nyeleneh( lain dari yang lain ), dan bahwa sesuatu  paling besar  yang  mematikan kaum muslimin adalah perpecahan dan perbedaan, dan dasar kemenangan mereka adalah cinta dan persatuan.Tidak akan baik generasi akhir ummat ini kecuali dengan apa yang membuat baik generasi pertama. Inilah kaidah dasar dan tujuan yang sudah diketahui oleh setiap muslim, dan merupakan aqidah kami yang menancap dalam jiwa kami, dan menjadi sumber rujukan kami serta  kami berdakwah kepadanya”.[15]

Kendati demikian kami yakin bahwa khilaf dalam furu’ (cabang) agama merupakan hal yang niscaya, dan tidak mungkin kita bersatu dalam furu’ dan pendapat-pendapat madzahib karena banyak sebab diantaranya:
  1. Perbedaan akal dalam kekuatan dan kelemahan dalam istimbat , pengetahuan dan kebodohan terhadap dalil serta kemampuan menyelami makna yang paling dalam, korelasi antara yang satu dengan selainnya, dan agama terdiri dari ayat-ayat , hadits-hadits dan teks-teks yang diintrepretsi oleh akal dan nalar dalam batasan bahasa dan kaidah-kaidahnya, sedangkan manusia dalam hal terseebut sangat bervariasi ( kemampuannya) sehingga pasti terjadi khilaf ( perbedaan).
  2. Keluasan dan kedangkalan ilmu, yang ini mencapai sesuatu yang tidak dicapai oleh yang itu , yang lainnya demikian juga halnya. Imam Malik berkata kepada Abu Jakfar:” Sesungguhnya para sahabat Rasulullah berpencar di seluruh kota dan setiap kaum memiliki ilmunya sendiri, jika kamu memaksa mereka pada satu pendapat  maka akan terjadi fitnah.
  3. Perbedaan lingkungan sehingga aplikasinya berbeda sesuai dengan perbedaan lingkungan tersebut.Imam Syafi’I r.a. memberi fatwa lamanya di Iraq dan fatwa barunya di Mesir, dan dalam kedua fatwa itu beliau mengambil apa yang nampak dan jelas dalam pikiraannya  serta tidak lepas dari objektifitasnya untuk mencapai kebenaran.
  4. Perbedaan ketenangan hati terhadap riwayat ketika ditransfer kepadanya, ada Imam yang melihat perawinya tsiqah ( terpercaya ) dimana ia merasa nyaman dan tenang hatinya untuk menerimanya,  sementara yang lain memandangnya memiliki kekurangan karena ia mengetahui kondisi perawi.
  5. Perbeaan penilaian terhadap dalil-dalil , ada yang menjadikan perbuatan orang banyak lebih dikedepankan daripada khabar Ahad, sedangkan yang lain tidak menganggap demikian

Semua faktor-faktor  ini menjadikan kami berkeyakinan bahwa ijma’ ( konsesnsus ) dalam dalam satu persoalan furu’ agama suatu hal yang mustahil, bahkan hal tersebut tidak sesuai dengan tabi’at agama ini.Allah menghendaki agama ini kekal dan mampu mengikuti perkembangan masa dan waktu, dan oleh karenanya agama ini mudah, elastis, lembut , tidak statis dan tidak pula ketat.
Kami meyakini ini dan kami mencari  segala alasan maaf kepada mereka yang bebeda pendapat dengan kami dalam pesoalan furu’, dan kami memandang perbedaan pendapat tidak boleh selamaanya menjadi penghalang keterikatan hati, saling mencintai dan bekerjasama dalam kebaikan…ikhwan dalam hal ini sangat berlapang dada dengan yang brebeda pendapat , dan memandang bahwa pada diri satu kelompok masyarakat terdapat ilmu pengetahuan, dan di setiap dakwah ada  kebenaran dan kebathilan, dan mereka secara objektif mengambil kebenaran serta berusaha dengan cara  lemah lembut dan negosasi untuk meyakinkan orang yang berbeda pendapat dengan sisi pandang mereka. Jika mereka puas, itulah yang diharapkan dan kalau tidak, mereka adalah sadara kita seagama dan kami memohon hidayah untuk kami dan untuk mereka.Itulah metode Ikhwan dalam menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam persoalan furuiyah agama Allah, yang hal ini bisa kami ringkas sebagai berikut: Ikhwan membolehkan adanya khilaf dan tidak suka fanatisme terhadap pendapat, berupaya untuk mencapai kebenaran dan menggiring manusia kepadanya dengan sarana yang paling lembut, dan penuh kecintaan.[16]       
           

 Analisis Fiqh Ikhtilaf Perspektif Hasan al-Banna
          Dari paparan  di atas, dapat ditarik beberapa temuan penting dalam fiqh itkhtilaf perspektif Hasan al- Banna sebagaimana berikut:
a.Rambu-rambu dalam menimbang pendapat para Mujtahid
            Hasan al-Banna menegaskan bahwa pendapat para Mujajid tidak mesti benar dan terlepas dari kesalahan sehingga pendapatnya tidak harus diterima secara bulat.Hanya al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya yang memiliki kebenaran hakiki.Demikian juga hasil ijtihad  mereka  yang termasuk katergori mutghayyirat(fleksibel)dan  dipraktikkan  pada   zaman mereka,tidak mesti diikuti  dan dipaksakan jika tidak sesuai dengan kondisi masa kini.Pengertian  mengembalikan segala persoalan yang masih  diperselisihkan kepada dua sumber tersebut ada dua kemungkinan.Pertama,merujuk kepada teks al-Qur’an dan Sunnah yang  penunjukan hukumnya bersifat dzanni untuk dikaji ulang,atau kedua,mengembalikan kepada   kepada kaidah-kaidah universal yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
.Pada sisi lain, kita yakin tidak ada satu dari para Imam atau orang yang pendapatnya diterima secara luas oleh umat Islam yang sengaja melakukan pembangkangan terhadap sunnah Rasulullah saw. sekecil apa pun. Mereka sepakat dan yakin seyakin yakinnya akan keharusan mengikuti sunnah Rasulullah sw. dan bahwa hanya Rasulullah saw.  yang terjaga dari kesalahan berkat bimbingan Allah SWT.lewat wahyu, sebagaimana firman-Nya:
“ Dan tiadalah apa yang diucapkan itu  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya).( Q,S. 53: 3-4 ).
            Kaidah-kaidah Ushuliyah yang menyatakan “ Tidak boleh ada qiyas selama ada khabar” , Apabila ada atsar maka batallah nalar , dan “ Tidak ada Ijtihad dengan adanya nash “ , menunjukkan bahwa tradisi para mujtahid salaf dalam mengembangkan ijtihadnya selalu terikat dengan kaidah-kaidah tersebut.
            Imam al-Syafi’i berkata :” Aku tidak mendebat seseorang kecuali yang aku harapakan munculnya kebenaran dari lisaannya “. Di lain kesempatan beliau berkata :” Perkataannku ( pendapatku ) benar tapi berpotensi salah, dan pendapat selainku salah tapi berpotensi benar”, Aku tidak peduli apakah kebenaran datang dariku atau dari lisan lawanku”.[17]
            Jika ada terkesan pendapat salah satu dari mereka bertentangan dengan hadits shahih, bisa jadi karena mereka memilki alasan meninggalkan hadits tersebut. Alasan mereka bisa dikategorikan menjadi tiga hal, Pertama, mereka tidak yakin bahwa hadits itu sabda Rasulullah saw. Kedua, tidak yakin bahwa Rasulullah saw. menghendaki masalah tersebut dengan sabdanya itu. Ketiga, Keyakinan mereka bahwa hadits tersebut mansukh. 
            Oleh sebab itu tidak boleh tergesa-gesa menilai pendapat mereka dan meragukan niat baik mereka apalagi mencaci dan merendahkan martabat mereka. Mereka telah berbuat banyak untuk Islam dan sudah meninggal dunia. Inilah yang ditekankan oleh al-Banna dalam dasar pemikiraannya yang keenam.Sikap seperti ini sesuai dengan semangat ajaran Islam yang dituangkan dalam firman Allah :” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka ( Muhajirin dan Anshar ), mereka berdo’a, Ya Tuhan kami,ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami,dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.Ya Tuhan kami sungguh Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang “. ( Q.S.59 : 10 ).
           
Sikap seperti ini tidak asing bagi mereka, karena al-Qur’an sendiri mengajari mereka untuk bersikap objektif , sebagaimana al-Qur’an mengakomodir pendapat Ratu Saba’ yang bijak kendati ia musyrik, ketika sang ratu memberikan pendapatnya dalam menanggapi surat Nabi Sulaiman dengan berkata:” Sesungguhnya para raja kalau memasuki sesuah desa mereka akan merusaknya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina “. ( QS. Al-Naml : 34 ).
            Hasan al-Banna dengan kaidah keenam dalam Risalah al-Ta’alin ini ingin menyampaikan pesan bahwa para mujtahid tidak terlepas dari kesalahan karena  mereka pun mengkuinya, dan tidak memaksakan kita mengikut hasil ijtihad mereka.
           

b.Adab sopan santun terhadap para ulama salaf
            Ulama adalah pewaris Nabi saw.dalam menjalankan dakwah, meneliti dan menyebarkan ajaran Islam dengan harta dan jiwa mereka.Dengan pengorbanan semacam ini pantas untuk diapresiasi, dimuliakan dan diperlakukan secara sopan ,bukan dihujat dan dicaci maki apalagi dalam masalah yang masih diperselisihkan dan masuk wilayah ijtihad.Jika mereka salah akan dapat satu pahala, dan jika benar akan mendapatkan dua pahala.Seharusnya jika ada pendapat mereka yang kurang kuat, hendaknya dijelaskan letak kelemahannya dengan mengkritisi kelemahan pendapat tersebut serta memberikan argumentasi  lain yang lebih kuat dengan tanpa menyalahkan dan memakai bahasa yang sopan.
Al-Qur’an menasehatkan kita dalam berdebat untuk mempergunakan argumnetasi dan kata yang lebih baik dengan lawan debat kita.Untuk itu Allah SAWT. Menyuruh Nabi Musa dan Harun as. untuk berkata lemah lembut kepada Fir’aun, dan agar mereka jangan lupa berdo’a kepada Allah agar upaya  berhasil menasehati Fir’aun mebuahkan hasil.
Ibnu al-Qayyim dalam bukunya “ I’lam al-Muqi’in “ menyatakan bahwa orang mencaci ulama kemungkinannya ada dua, Pertama, ia tidak tahu kapasitas atau keutamaan para ulama . Kedua, tidak tahu hakekat syari’at yang dengannya Allah mengutus para Rasul-Nya.Orang yang mengerti syari’at dan kondisi riil akan pasti tahu bahwa seorang yang terhormat dan telah banyak berbuat kebajikan untuk Islam dan pemeluknya bisa jadi melakukan kekeliruan, tetapi ia diampuni dan bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya. Oleh karenanya tidak boleh dicari-cari kesalahanya, dihabisi posisi dan keimamahannya dari hati-hati orang mukmin”.[18]
            Pendapat Ibnu Qayyim ini sejalan dengan arahan al-Qur’an kepada orang-orang mukmin untuk menghargai para leluhurnya dengan mendo’akan ampunan kepada Allah sebagaimana tertuang dalam Surat al-Hasyr:10.Dengan demikian apa yang dikatakan Hasan al-Banna dalam kaidah keenam di atas menunjukkan kearifannya dalam menyikapi dan menghargai perbedaan pendapat  para mujtahid terdahulu atau para ulama kontemporer dalam hal yang masuk kategori wilayah ijitihad.
            Al-Banna dalan tulisan-tulisannya tidak pernah menghujat balik orang yang bersebrangan dengan pemikirannya selama pemikiran itu masuk dalam masalah yang dibolehkan ijtihad.Dia lebih menkankan kaidah” Kita sepakat dalam hal-hal yang kita sepakati bersama,dan saling memahami dalam hal di mana kita berbeda pendapat “ dan berlapang dada,saling menghormati  sebagimana yang dipraktikkan oleh ulama terdahulu sebelum munculnya era kefanatikan terhadap madzhab.Potensi umat Islam seharusnya disergikan untuk membangun kembali kejayaan umat Islam sesuai dengan tantangan zamannya ,segaimana para pendahulu kita telah membangunnya dengan berpedoman pada perintah Allah kepada Rasul:” Tegakkan agama dan jangan kalian bercerai-berai”(QS. Al-Syura:13),  dan firman-Nya:”Dan berpegang teguhlah kepada tali Allah dan jangan bercerai berai”.(QS.Ali Imran:103)
            Pada prinsipketujuh,al-Banna menjelaskan persoalan taqlid dan ijtihad .Persoalan ini dimunculkan karena realitas menunjukkan  ada empat kesalahan dalam kajian fiqh: pendapat ekstrim yang berpendapat bahwa kebenaran hanya ada di madzhab yang dianutnya,dan ada yang dari awalnya  membenci fiqh, ada  pula yang menolak menkaji al-Qur’an dan Sunnah demi mempertankan fiqh,sementara yang lain menolak fiqh dengan alasan al-Qur’an dan Sunah.[19]
Hasan al-Banna mengambil sikap moderat sebagaimana halnya para ulama generasi awal.Ia tidak mengaruskan semua orang berijtihad dan tidak pula mengaruskan semua orang bertaqlid,tetapi diserahkan kepada kapasitas diri sesorang;apakah dia orang awam,intelektual yang mencapai tingkat mujtahid atau murajjih  baik murajjih madzhab atau murajjih para madzhab.Yang menarik dari pendapatnya adalah, bahwa selain mujtahid dianjurkan untuk mengembangkan potensi dirinya agar tidak tetap berada pada posisi muqallid yang fanatik,tetapi hendaknya bersikap objektif dan terbuka terhadap pendapat orang lain yang lebih kuat dan dipercayai kapasitas keilmuan dan moralitasnya.
            Persoalan hukum yang masih diperselisihkan,menutunya masih terbuka peluang untuk diiskusikan ulang degan semangat ikhlas mencari kepastiannya dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.Bahkan hasil ijtihad yang sudah diterima dan dipraktikkan masa tertentu yang diwarnai dengan warna budaya tertentu pula dan tidak layak lagi untuk masa kini, bisa dikaji ulang dengan semangat kembali kepada esensi dan kaidah-kaidah universal ajaran al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para sabahat dan salaf al-shaleh , agar kita tidak terkekang dengan sesuatu yang sebenanya Allah tidak mengekang kita,dan memaksakan masa hidup kita ini diwarnai dengan masa yang tidak sesuai lagi,padahal Islam agama untuk seluruh lapisan manusia.[20]
            Pemahaman salaf yang  seperti ini,disebutnya dengan kembali kepada  “ al-Ma’in al-Shafi (sumber yang jernih) atau “ma’in al-suhulah al-ula”(sumber pertama yang mudah),yaitu pola pikir yang tetap menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan utama serta  merujuk kepada hasil pemikiran para ulama terdahulu  setelah ditimbang  dengan neraca al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dan fiqh realitas, sehingga mampu menjawab berbagai persoalan yang dipertanyakan lewat lisan-lisan  orang yang hidup dan bukan dengan fatwa-fatwa orang yang sudah meninggal dunia. Salah satu contoh,al-Banna tidak menolak konstitusi Mesir yang diletakkan pada tahun 1923 M.walaupun banyak diadopsi dari Eropa, tetapi prinsip-prinsipnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam,karena menurutnya, prinsip-prinsip dan falsafah-falsafah dan tujuan-tujuan yang dihadirkan Islam dalam mensiasati umat dan Negara bisa dilakukan dengan al-nudhun al-madaniyah(system civil society      ) dan al-Tajarajarib al-insaniyah(eksperimen manusia) yang semuanya hasil karya manusia-Muslim atau non Muslim-.Standar peneriman dan penolaknnya adalah seberapa jauh ia mampu merealisir tujuan-tujuan Islam dalam melibatkan umat dalam membuat keputusan-keputusan dan merealisir keadilan di tengah-tengah masyarakat.[21]
           
 c.Ikhtilaf dalam furu’ dan faktor-faktor penyebabnya
            Ikhtilaf dalam furu’ sebuah keniscayaan dan fakta sejarah dalam  kehidupan komunitas Muslim periode awal.Faktor-faktor penyebabnya dipaparkan oleh Hasan al-Banna dengan cukup jelas; perbedaan kemampuan nalar, keluasan ilmu,  situasi dan kondisi masyarakat, kepuasan terhadap status riwayat  dan pilihan dalam menentukan penunjukan makna ( sebuah lafadz).
            Setiap mujtahid memiliki  standar  kemampuan nalar yang melebihi standar kemampuan nalar rata-rata selain mereka.Oleh karenanya seorang mujtahid harus memiliki independensi dalam berpendapat , tidak boleh taqlid dan muttabi’ pada mujtahid yang lain.Argumentasi yang bervariasi dari masing-masing mijtahid dalam menetapkan status hukum pada satu permasalahan menunjukkan keahlian dan indepensi dalam istimbat hukum syar’i, dan sekaligus menunjukkan perbedaan kemampuan nalar mereka dalam mengekplorasi makna teks al-Qur’an. Perbedaan pendapat tersebut seharusnya dipandang keluesan hukum Islam dalam merespon berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat sehingga mereka bisa memilih yang diyakini lebih tepat dan benar dan memungkinkan untuk dipraktikkan dalam realitas sosial lingkungannya.
            Berdasarkan fakta di atas, Hasan al-Banna menyikapi perbedaan ijtihad dalam hal yang bersifat furu’iyah dengan penuh bijaksana baik dalam teori atau pun praktiknya.Motivasinya,bagaimana bagaimana menyatukan umat Islam dan merakit ukhuwah islamiyah yang kokoh sehingga memiliki potensi  dahsyat dan luar biasa seperti para pendahulunya.Oleh karena letak motivasi ada di dalam hati,ia tak lupa  berwasiat kepada seluruh yang mendukung pemikiran dan dakwahnya untuk membaca do’a ikatan hati setelah  selesai membaca ma’tsurat(doa-doa pilihan dari Hadits Nawabi) dan wirid Qur’ani pilihan pagi dan sore ,sebagaimana  berikut :
“Ya Allah,sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa hati-hati ini telah menyatui untuk mencintai-Mu,bertemu untuk menta’ati-Mu,dan berjanji untuk menolong syari’at-Mu,maka teguhkanlah ya Allah ikatan (hati)mereka,langgengkan cinta kasihnya,tunjukilah jalan-jalannya,penuhilah dengan cahaya-Mu yang tiada pernah redup,lapangkanlah dadanya dengan luapan iman kepada-Mu dan katawakkalan yang indah kepada-Mu,dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu.Sesungguhnya Engkau Pelindung Yang Terbaik dan Penolong Yang Terbaik.[22]

Penutup dan kesimpulan
            Dari penjelasan di atas dapat ditarik bebrapa kesimpulan berikut:
  1. Ikhtilaf dalam furu’ menurut al-Banna merupakan suatu keniscayaan dan alamiyah sesuai dengan tabi’at manusia yang memiliki kecendrungan dan  kapasistas keilmuan yang berbeda-beda.Dan karenanya tidak boleh fanatik terhadap satu pendapat saja dan menafikan atau menutup diri dari pendapat yang lain yang lebih realistis dan sesuai dengan perkembangan zaman selama pendapat itu sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad yang berlaku.
  2. Perbedaan pendapat seharusnya dipandang keluesan Syari’ah Islam dan tidak boleh memicu dan dijadikan pemicu perpecahan ummat.Sebaliknya hendaknya dipahami dan dijadikan sarana memahami pendapat orang lain sehingga terjadi kesepahaman dan saling hormat-menghormati serta memperkokoh ukhuwah islamiyah.Dan karenanya ulama yang memiliki ijitihad yang berbeda tidak boleh dihujat dan dicaci ,tetapi seharusnya diapresiasi dan dihormati.
  3. Permaslahan perbedaan furu’yang belum terselaikan,bisa dikaji ulang untuk dicari sisi kesamaannya dengan mengedepankan keikhlasan,kejujuran hati dan ukhuwah islamiyah,dan jika tidak terselesaikan juga, ia menganjurkan agar kaidah”kita sepakat pada hal-hal yang kita sepakati bersama ,dan saling mema’afkan pada hal-hal yang kita tidak sepakat” sebagaimana semangat do’a yang sering kita lantunkan “Ya Allah jadikanlah pertemuan ini menjadi pertemuan yang penuh rahmat,dan perpisahan kami menjadi perpisahan yang terpelihara (dari dosa) .
  4. Keikhlasan dan kejujuran dalam menerima perbedaan pendapat ini seharusnya diimbangi dengan do’a ikatan persaudaraan sehingga betul-betul menjadi energi dahsyat yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam untuk memperkokoh fondasi bangunan masyarakat muslim yang dibangun atas dasar iman,taqwa dan ukhuwah islamiyah.Hati-hati manusia ibarat prajurit-prajurit yang memiliki senjata lengkap,satu dan lainnya  akan merasa  familiar jika mengenalnya,sebaliknya jika saling memungkiri akan saling bersebrangan.
  5. Untuk mengenal dan mendalami pemikiran al-Banna dalam proyek peradaban yang digagasnya, perlu dilakukan kajian mendalam terhadap buku-buku yang ditulisnya,terutama dalam kumpulan risalah dakwahnya (Majmu’atu al-Rasail ). Wallahu a’lam bi al-shawab



Referensi
  1. Abdullah Qasim al-Wasyli,al-Nahju al-Mubin lisyarhi al-Ushul al-‘Isyrin,(Jeddah,Darul Mujtama’,1990
  2. Muhammad Fathi Ali Sya’ir,Rasa’il al-I’lam al-Mathbu’ah Fi Dakwati al-Ikhwan al-Muslimun,(Jeddha,Dar al-Mujtama’,1045H.
  3. Hasan al-Banna,Majmu’atu al-Rasa’il,Cairo,tt.
  4. Hasani Adham Jarrar,al-Dakwah ila al-Islam Mafahim wa Minhaj wa Wajibat,(Yordania,Dar al-Dhiya’,1984
  5. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,I’lam al-Muqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin,Mesir,Dar al-Kutub al-Haditsah,tt.
  6. Muhaammad Abdullah al-Khathib dan Muhammad Halim Hamid,Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan,terj,(Bandung,Asy-Syamil Press,2001
  7. Muhammad al-Ghazali,Dustur al-Wihdah al-Tsaqafiyah Baina al-Muslimin,Cairo,Dar al-Anshar,tt.
  8. Muhammad Imarah,Ma’alim al-Masyru’ al-Hadhari fi Fikri al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna,
  9. Utsman Abdul Mu’iz,Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin,terj.(Solo,Intermedia,2000
  10. Zakaria Sulaiman,al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Jama’at al-Islamiyah Fi al-Hayah al-Siyasiyah al-Mishriyah,Cairo,Maktabah Wahbah,1979
  11. Thal’at Muhammad Afifi,Adab al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah Wa Aytsaruhu  fi al-Amal al-Muashir, Nashr City,Dar al-Salam,2005
  12. Isham al-Basyir,Adhwa’ ‘Ala al-Ushul al-‘Isyrin,Kuwait,Maktabah al-Manar,1990








[1] Dr.Thal’at Afifi,Adab al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah wa Atsrahu fi al’amal al-Islamial-Mu’ashir,Dar al-Salam,2005) hlm.9
[2] Ibid,hlm.63-64
[3] Ibid,hlm.61

[4].Dr.Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwan Muslimin, hlm.177-178
[5].Hasani Adham Jarrar, al-Qudwah al-Shalihah, ( Yordania, Dar al-Dhiya’, 1985 ) hlm.109
[6] Idem, hlm.178
[7]. Idem, hlm.179-180
[8].Utsman Abdul Muiz,hlm.183
[9] Dr,Zakariya al-Bayumi, al-Ihkwan al-Muslimun wa al- Jama’at al-Islamiyah fi al-Hayat al-Siyasiyah al-Mishriyyah , ( Cairo, Maktabah al-Wahbah, 1979 ) hlm.81
[10] Lihat: Muhammad Fathi Ali Sya’ir,Wasail al-I’lam al-Mathbu’ah Fi Dakwati al-Ikhwan al-Muslimin,(Jeddah,dar al-Mujtama’,1405 H.),hlm.:231-324
[11] Muhammad Fathi Ali Sya’ir,Rasail al-Mathbu’ah fi Dakwati al-Ikhwan al-Muslimin,hlm.124
[12]Lihat: Hasan al-Banna,Majmu’atu al-Rasail,hlm.7-26
[13]Ibid,hlm.8-7
[14] Ibid,hlm.8-9
[15] Ibid.hlm.112-113
[16] Lihat:Majmu’atu al-Rasail,hlm.113-116
[17] Lihat:Abdullah Qasim al-Wasyli,al-Nahju al-Mubin Lisyarhi al-Ushul al-‘Isyrin,(Jeddah,Dar al-Mujtama,1990)hlm.163, Isham Ahmad al-Basyir,Adhwa’ ‘Ala al-Ushul al-Isyin,(Kuwait,Maktabah al-manar al-Islamiyah,1990),hlm.73
[18] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,I’lam al-Muqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin , Juz III,(Mesir,Dar al-Kutub al-Haditsah,tt),hlm.353
[19] Abdullah Qasim al-Wasyli,Al-Nahju al-Mubin Lisyarhi Ushul al-‘Isyrin,hlm.168
[20] Muhammad ‘Imarah,Ma’alim al-Masyru’ al-Hadhari fi Fikri al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna,hlm.16
[21] Ibid
[22] Hasan al-Banna,Majmu’atu al-Rasail,hlm.623-624